Review Book: David and Goliath

Siska Filawati
7 min readSep 19, 2021

--

Malcolm Gladwell

anda melihat si raksasa dan si gembala di lembah elah dan mata anda menoleh ke laki-laki dengan pedang, perisai, dan zirah berkilauan. tapi banyak hal indah dan berharga di dunia berasal dari si gembala, yang punya kekuatan dan tujuan lebih besar daripada yang kita bayangkan

Buku non-fiksi dengan genre motivasi, self improvement. Buku ini aku beli bekas dengan harga 30rb, hehe, dengan kondisi kertas sedikit menguning. Tapi kualitas masih bagus, halaman juga ga ada yang robek, original.

Aku baru kali ini baca karya Malcolm Gladwell. Sebelum tahu kalau Gladwell adalah reporter, buku ini sangat merepresentasikan tulisan jurnalistik seperti pada umunya. Lugas, banyak sudut pandang baru, penuh dengan tanya, dan cara berceritanya ga cuma urut aja, tapi dibentuk dari bahasan umum ke khusus, kemudian opini, dan terkahir konklusi. Bagus banget lah.

Buku ini ada 3 bab dengan masing-masing bab ada 3 sub-bab. 3 bab itu adalah topik yang akan diangkat dalam cerita, seputar: sekolah, keterbatasan fisik dan sosial, dan kekuatan dalam pemaafan, apa yah, letting go. Kesemuanya itu menceritakan tentang kelemahan dan keterbatasan yang bisa diubah ke kekuatan dan kesuksesan.

Cover buku

Prolog dari buku ini juga sangat mengena buatku. Diawali dengan kisah David (Nabi Daud as) melawan Goliath (Jalut). Dari kisah ini, Gladwell menulis 9 kisah lain dengan judul nama seseorang yang jadi tokoh utama cerita.

Kenapa Nabi Daud as bisa mengalahkan Goliath? Sebenarnya sudut pandang yang diberikan Gladwell ini ga pernah aku baca di buku buku kisah nabi, buku sejarah, atau buku lain. Kisah yang sudah kita ketahui (dari kitab muslim maupun nasrani) adalah Nabi Daud as saat itu masih dalam usia anak-anak sedangkan Goliath adalah raja dengan kemapuan perang luar biasa. Tapi, dibalik kelemahan Nabi Daud as dan keperkasaan Goliath, banyak yang tidak kita ketahui bagaimana siasat perang yang dilakukan oleh Nabi Daud as dan Goliath.

Goliath memiliki tubuh raksasa (gede banget) bahkan hentakan kaki saat jalan bisa dirasakan oleh orang di sekitarnya. Ia seorang raja, pastinya punya kekayaan dan kejayaan, punya duit, punya tahta, punya pasukan, bisa ngatur orang, semuanya punya deh. Nabi Daud as, seorang anak gembala dengan pakaian sederhana dan seruling yang selalui ia bawa kemana-kemana. Dibandingkan Goliath, Nabi Daud as ga punya apa-apa.

Saat itu sedang berlangsung perang antara bangsa Israel yang dipimpin Saul (Talut) dan kerajaan Goliath. Sebelum mulai peperangan, ada semacam pertandingan satu lawan satu. Goliath maju dari pihak lawan. Ia membawa pedang, tombak, dan lembing, baju zirah yang melindungi dada, helm yang melindungi kepalanya, dan lempeng besi yang melindungi lengan tangan dan kakinya. Hal ini membuat pasukan Saul takut dan tak satupun mau untuk maju, kecuali, seorang anak gembala yang tiba-tiba ada disana. Nabi Daud as hanya memakai pakaian gurun, tongkat yang digunakan untuk menggembala, dan tas kecil. Ia menawarkan diri untuk melawan Goliath. Saul yang melihat Nabi Daud as yang tidak dilindungi apa-apa menawarkna baju zirah, agar setidaknya, saat Nabi Daud as kalah, ia tak sampai meregang nyawa, begitu pikirnya. Namun, Nabi Daud as menolak.

“ Aku tidak dapat berjalan dengan memakainya, sebab belum pernah aku mencobanya.”

Dikira-kira baju zirah ukurannya terlalu besar bagi Nabi Daud as, sehingga beliau pasti kesusahan saat memakainya. Nah lanjood, setelah itu Nabi Daud as hanya mengambil 5 batu kecil dan mengantongi di tas kecilnya. Ia berlari menuju Goliath dan melemparkan batunya dengan menggunakan ketapel. Goliath langsung tewas saat itu juga. Why?

Disclaimer dulu yah: kalau dari perspektif pelajaran agama yang aku tangkap (berarti ini belum tentu tujuan dari guruku ngajar aku, tapi ini yang bisa aku pahami dari ajaran agama dan buku-bukunya), apa yang dilakukan Nabi Daud as adalah atas izin Allah, ga nemu penjelasan logisnya kenapa beliau dengan mudahnya mengalahkan Goliath si raksasa itu. Disini, Gladwell ngasih penjelasan logis, dan aku menerimanya. Secara garis besar yang diceritakan Gladwell adalah:

Goliath mempersiapkan petempuran jarak dekat, sedangkan Nabi Daud as mengecohnya dan melakukan serangan jarak jauh. Ini bisa dilihat dari senjata yang digunakan Goliath, ia hanya menggunakan senjata jarak dekat, mungkin lembing adalah senjata jarak jauh, tapi Nabi Daud as mendekati Goliath dengan berlari sehingga Goliath ga ada waktu untuk melontarkan lembing. Yang bisa dipastikan adalah pertempuran satu lawan satu bisa adalah pertempuran jarak dekat. Nabi Daud as memutar ketapel yang berisi batu dan melontarkannya dengan kecepatan 34 m/detik, yang sama dengan kecepatan tembakan pistol modern berukuran sedang. Kata Robert Dohrenwend, pertempuran Goliath dan Nabi Daud as sama seperti pertempuran prajurit zaman perunggu bersenjata pedang melawan prajurit modern bersenjata pistol otomatis kaliber .45.

Apa yang dilakukan Nabi Daud as itu ga terpikirkan oleh orang-orang disana saat itu. Oleh karena itu, Saul berusaha meyakinkan Nabi Daud as agar memakai baju zirah, artinya penyerangan pakai ketapel ga sampai akal gitu dalam pertempuran besar saat itu. Teknologi perang jarak jauh sepertinya juga belum populer atau mungkin belum pernah digunakan dalam perang, sehingga pertempuran yang terjadi selalu pertempuran jarak dekat. Dari sini kita bisa tahu, bahwa keputusan Nabi Daud as yang masih bocah memang ada semacam ‘hidayah’ keilahian gitu, mungkin ini agak ga masuk akal sih, tapi percayalah apapun bentuk ‘zing’ yang tiba-tiba otakmu bisa membuat keputusan agar kamu selamat adalah semacam hidayah dari Tuhan, dalam bentuk otak yang berpikir lebih dalam dan tubuh yang menginginkan agar kamu tetap selamat. Keinginan untuk terus hidup saat kamu ditimpa bencana itu lebih besar dibanding saat kamu baik-baik aja.

definisi apa yang benar sering kali hanya cara bagi orang-orang yang berkedudukan kuat untuk menutup pintu bagi orang lain

Buku ini sebenarnya ga bahas tentang kisah kenabian Nabi Daud as melawan Goliath, kisah ini Cuma masuk ke prolog aja. Hehe. Ini karena akunya aja yang suka sama cerita-cerita sejarah dan terkesan sama penjelasan Gladwell yang ngasih insight baru ke aku. Yang ditekankan Gladwell di buku ini adalah kelemahan bukan berarti kekalahan, kelemahan tidak selamanya lemah, dan kekuatan tidak selamanya kuat.

Isi buku ini tentang cerita-cerita para witness dari kejadian-kejadian luar biasa, ada yang tentang olahraga basket, memilih sekolah, unjuk rasa, penemuan obat baru, hingga perang Irlandia Utara dengan Inggris. Semuanya diberi judul dengan nama orang yang diwawancarai oleh Gladwell, atau orang yang punya peran penting dalam peristiwa-peristiwa itu. Dari kesemua cerita itu yang paling nyantol ke aku adalah bab 1 tentang pendidikan. Karena aku sendiri merasa pernah mengalami dan banyak cerita di buku ini yang mirip banget sama aku.

Ada sebuah ulasan tentang sekolah prestisius (tentunya dengan biaya yang tinggi banget) lebih mempromosikan jumlah siswa di kelas ga sampai 10 atau 15 dengan alasan agar siswa lebih fokus untuk meperhatikan guru dan sebaliknya sehingga mudah untuk menerima pelajaran. Nah, kalau kata Gladwell hal ini malah membuat pikiran siswa ga kritis, karena semakin sedikit saingan dan semakin sedikit teman diskusi. Apakah artinya semakin banyak siswa dalam sebuah kelas maka kualitas siswa akan lebih baik? Oh, tentu tidak ferguso. Ada batasan dalam jumlah siswa dalam sebuah kelas, tidak sedikit tapi tidak juga banyak. Pas!!!

Untuk menjelaskan itu ada teori kurva U terbalik, jadi semakin besar nilai x (variabel/parameter) maka akan meningkatkan nilai y (hasil). Namun nilai y ada maksimumnya, setelah itu semakin besar nilai x maka nilai y akan menurun. Kurva U terbalik ini diterapkan untuk pendidikan, keuangan, otoritas, dan lainnya.

Ada juga bahasan tentang lebih baik mana menjadi ikan kecil dalam kolam besar atau ikan besar dalam kolam kecil? Pembahasan ini dikaitkan dengan memilih sekolah sih. Banyak juga ternyata the smartest pupil of higher school masuk MIT atau Harvard namun berakhir d.o. atau cari jurusan yang lebih mudah, hal ini disebabkan karena saingan terlalu besar dan kita tidak antisipasi. Ini juga relate sama hidupku.

Wkwkw, sambil nulis sambil curhat ya gais. Aku baru ngerasain ini, kalau sekolah itu berat banget pas ambil master degree. Mungkin karena gap kuliah bachelor dan master terbentang 5 tahun jauhnya, akhirnya banyak pelajaran yang udah lupa, kemana lagi itu catatan 5 tahun yang lalu. Ini aku juga sedang mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia juga. Jadi selama semester 1 dan 2, aku merasa tertekan sekali, tertekan banget, bahkan sampai pada kondisi tubuhku menunjukkan ketidaksehatan. Padahal yah sejam yang lalu aku baik-baik aja. Ini karena apa? Karena ga bisa pelajaran? Mungkin saja, tapi aku punya teman-teman yang support lillahita’ala, sering banget ngajari aku, ngajak belajar dan latihan soal bareng. Sepertinya bukan itu. Hehe.

Aku ga ngerti yah, dosen kenapa lidahnya ada yang seperti belati. Apakah dengan mengucapkan perkataan seperti itu mahasiswa termotivasi untuk belajar? Apakah bisa meningkatkan kemampuan mahasiswa menjawab soal? Apakah dapat meningkatkan kekritisan dan kemampuan mahasiswa dalam menjawab berbagai persoalan? Ga. Aku ga merasakan itu. Justru aku sakit guys, sakit!!! Ada pelajaran tertentu dimana badanku selalu panas, padahal sejam sebelum aku sehat wal’afiat. Ini pelajaran juga buat aku, biar ga semena-mena ngomong ke orang. Tapi, aku juga berharap dosen-dosen Indonesia ga menerapkan cara lama yang menggalikan jurang buat mahasiswa.

Tapi nih, kalau jadi mahasiswa juga jangan minta enak aja. Wkwkwk, pas pelajaran ga dengerin, ga merhatiin, ga melakukan kewajiban sebagai mahasiswa dengan baik. Jadi aku harap, kita semua (dosen dan mahasiswa) saling memenuhi kewajiban pada diri masing-masing dan pada yang lain. Insya Allah akan aman sentosa.

Satu lagi nih, jadi sistem penilaian dosen itu masih seputar ujian, kuis, dan tugas. Dosenku ada yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. JUJUR dalam menjawab soal, salah gapapa, nilai jelek tanggung sendiri (ini bukan ajakan untuk mendapat nilai bagus dengan tidak JUJUR yah). Padahal udah belajar sampai ga tidur, belajar sana-sini, tanya dari rumah ke rumah, ngerjain tugas sampai baca banyak jurnal, ngumpulin duluan, dan segala usaha baik lahir batin. Tapi kalau ga bisa jawab soal yaudah titik, nilai lu jelek. Aku menjalani segala usaha ini tapi buat dapat B aja susah banget. Hehe. Yah mungkin otak ku ga encer banget. Tapi, kalau yang dinilai hanya jawaban ujian, rasa-rasanya usaha-usahaku ga ada artinya sama sekali. Sedangkan, IP juga dibutuhkan untuk ngelamar pekerjaan tertentu.

Hal-hal seperti itu yang membuat aku pengen cepet-cepet lulus. Sistem pendidikan kita kacau balau. Ini juga masalah perguruan tinggi kita. Kita ga diajari cara susun currirulum vitae yang benar. Ini penting banget loh buat karir kita esok. Belajar, ngerjain soal, tugas, kuis, ujian, itu aja circle nya. Sedangakan persiapan masa depan kita ga ada sama sekali dalam kurikulum. Masa depan lu yah lu pikir sendiri. HAHAHA. Makanya netizen dan para tetangga yang budiman, jangan nge-judge lulusan perguruan tinggi kok nganggur. Ini karena kita ga disiapin di dunia kerja, kita ga disiapin untuk menata masa depan kita. Tapi lucunya, beberapa bulan setelah kita lulus. Kita disuruh mengisi data alumni, yang mana ada pertanyaan, berapah gajih kitah, jadi siapakah kita. HAHAHA. Itu nilai jual loh buat perguruan tinggi.

Yak jadi meluber :)

Buku ini worth banget, banyak ngasih insight baru ke aku, ngasih sudut pandang baru ke aku, dan aku banyak merefleksikan segala tindakan dan pengalamanku dalam buku ini. Terima kasih, Gladwell. ❤

--

--

Siska Filawati
Siska Filawati

Written by Siska Filawati

berusaha belajar apapun, terima kasih sudah mampir dan baca

No responses yet