Review Book: Dunia Yang Kutinggali

Siska Filawati
3 min readMar 6, 2022

--

by Hellen Keller

cover

Buku ini ditulis oleh Helen Keller yang kehilangan penglihatan dan pendengaran saat usianya 19 bulan. Dari judul dunia yang kutinggali, kira-kira udah ada gambaran ga tentang buku ini.

Quotes

Keller menceritakan pengalaman kesehariannya dalam buku ini. Bagaimana ia mengenal orang, bagaimana ia mendengar, bagaimana ia bersoasialisasi dengan orang, bagaimana ia memaknai segala yang ada. Hmm, buku ini cukup menyita emosi, wkwkw. Banyak perasaan yang terlibat, terlebih banyak lagi, buku ini mengajariku syukur dan penghargaan pada sesama. Aku bisa mengenal dengan lebih baik bagaimana indera berperan dalam diri manusia.

Keller menceritakan dalam buku ini tentang warna, merah, hijau, pelangi. Sambil aku membayangkan, apa merah dan pelangi yang dipikirkan Keller juga sama dengan apa yang aku pikirkan? Apakah merah-nya merah? Apakah pelangi kita sama?

Ada hal luput tentang indera. Sebuah ‘sense’, stimulus, rangsangan. Kita bisa mengenali orang dengan wajah atau suaranya. Apakah teman kita menangis? Apakah teman kita sakit? Kita dengan mudah mengenalinya, dengan sembab matanya atau pucat parasnya dan lirih suaranya. Keller tidak demikian, bagiku sense yang dimiliki Keller malah bisa menggambarkan dengan jelas kondisi seseorang. Ia memahami lewat sentuhan, ia tahu lewat gerakan dan getaran, ia mengerti dari be-bau-an.

Nadi, sebuah ciri manusia bernyawa. Bagi yang bisa melihat wajah apakah nadi penting bagi mereka? Aliran darah luput dari perhatian manusia. Dari nyawa nadi, Keller mempelajari kondisi lawan bicaranya, sesuatu yang esensial dari diri manusia. Ia bisa tahu, bahwa seseorang sehat atau sakit, bahagia atau tertekan dari nadi. Garis-garis tangan manusia yang berbeda satu sama lainnya membuat Keller tahu bagaimana rupa mereka.

Hentakan kaki dan gemernyit pintu bisa jadi pertanda, sebesar apa tubuh seseorang, sedang apakah ia, sekedar berjalan, ataukah berlari. Bau, bau hujan dan hembusan angin memiliki pesan tertentu. Apakah sedang ada petir? Apakah sedang terjadi badai? Apakah aku harus berteduh, atau ini hanya gerimis? Semua bisa Keller kenali dan rasakan, sama seperti kita menggunakan mata dan pendengaran.

Namun, bukan tanpa hambatan Keller bisa sampai pada kesadaran ini. Ia berproses, guru, keluarganya pun. Keller pernah jatuh dan mengalami depresi. Tapi, ia yakin, berkah Tuhan selalu membahagiakan. Ia bahkan punya mimpi, mimpi yang baginya bisa berbuat sesuai imaji. Bukan sebuah kepakeman dalam kehidupan manusia. Bukankah itu indah?, aturan dan ikatan indera bisa lepas saat ekstasi dengan Tuhan hadir dalam hidup kita, bagi Keller juga.

dari kegelapan yang belum dipetakan dan tak terpikirkan
kita datang,
dan sebentar lagi kita akan kembali
ke dalam kegelapan yang luas dan tak terjawab

--

--

Siska Filawati
Siska Filawati

Written by Siska Filawati

berusaha belajar apapun, terima kasih sudah mampir dan baca

No responses yet