Review Book: Our Bodies Their Battlefield
Our Bodies Their Battlefield: What war does to women
Christina Lamb
“When I studied the Second World War at school in the 1980s, my textbooks said nothing of the mass rape. Even my son’s much more recent history books had no mention. No one apologized; no one was prosecuted"
Buku ini layaknya laporan jurnalistik, ditulis Christina Lamb berdasarkan perjalanan dan wawancara dengan korban kekerasan seksual akibat peperangan, dari Asia (Filipina, Bangladesh, Iraq, Syria), Eropa (Jerman, Italia, Bosnia dan Herzegovina), Afrika (Nigeria, Rwanda, Republik Demokratik Kongo , Amerika (Argentina). Yang jelas, buku ini tidak menceritakan sesuatu yang bahagia. Dimulai dari korban Perang Dunia Kedua, akibat kekejaman Nazi dan Red Army (Tentara Soviet) di Jerman dan tentara Jepang di Manila, Filipina, hingga korban dari genosida etnik yang masih terjadi saat ini, Rohingya, Myanmar.
Hmhm…, kasus kekerasan seksual yang dilakukan selama peperangan tidak pernah masuk ke pengadilan. “Jika memang terjadi kejahatan perang (terorisme) dan pemerkosaan, maka itu dianggap sebagai tindakan terorisme karena membunuh dan melawan tentara sekutu.” — The Nineveh Trials. Hingga saat ini, belum ada kasus kejahatan seksual dalam peperangan yang masuk persidangan. Selain itu, kejahatan seksual (pemerkosaan) juga dilakukan karena urusan politik dan ekonomi — Dr. Miracle and the City of Joy. Dalam kisah di Republik Demokrat Kongo (RDK), pelaku pemerkosaan bahkan memperkosa bayi usia 7 bulan, (ini menurut anda pemerkosaan???), dr. Denis Mukwege –mendapat Nobel Prize Peace tahun 2018 bersama Nadia Murad, seorang Yazidi yang menjadi budak seks ISIS, mendirikan Rumah Sakit Panzi di Bukavu tahun 1999 yang ditujukan untuk membantu korban kekerasan seksual di RDK, menyatakan bahwa bayi dan anak perempuan sengaja diperkosa dengan merusak anus dan organ genitalnya agar warga di suatu tempat pindah karena di wilayah tersebut dianggap memiliki emas, berlian, kobalt sehingga pemerintah bisa mendudukinya. Yes, RDK memiliki catatan demokrasi yang buruk (Tom Wilson, David Blood, David Pilling, Congo Voting Data Reveal Huge Fraud in Poll to Replace Kabila, Financial Times, 15 Januari 2019). Setiap harinya, Panzi menerima lebih dari 5 pasien korban kekerasan seksual dan selama 20 tahun menerima 55.000 korban pemerkosaan. Genosida etnis terhadap Muslim Rohingya masih berlangsung di Rakhine, Myanmar yang ditulis dalam bab Queue Here for the Rape Victim, dari judulnya saja sudah kelihatan.
Comfort Women adalah sebutan bagi budak seks jaman kolonial Jepang yang mencapai 200.000, tersebar di wilayah Asia, Korea Selatan, Cina, Filipina, Malaysia, Indonesia. Christina Lamb mewawancarai korban yang telah mencapai usia lebih dari 80 tahun di Manila. Mereka menjadi budak seks di usia 14 tahun, setiap hari melayani dari jam 9 pagi hingga 5 sore (tentunya tidak seorang yang melakukan pemerkosaan). Tahun 1993, PM Morihiro Hosokawa menyatakan secara resmi permohonan maaf kepada korban dan mengakui apa kebejatan yang dilakukan Jepang terhadap perempuan Asia selama perang dunia kedua. Namun, tidak ada satu pun tentara ex-WWII yang dihukum saat itu.
Dari semua kisah korban kejahatan seksual, korban mengalami pemerkosaan oleh lebih dari satu orang, mereka diperkosa di depan anak mereka, diperkosa bersama, hari ini selesai, besok lagi, diperjual-belikan sebagai budak, entah hati mana yang sanggup menghadapi kenyataan seperti ini. Banyak korban yang mengalami trauma hingga usia senja, melakukan beberapa operasi, tidak bisa hamil, dan meninggal. Bagi mereka yang bisa lepas, banyak yang memilih untuk sendiri, membesarkan anak-anak mereka sebagai ibu tunggal. Bagaimana aku bisa merasakan sakitku, saat anakku sendiri sakit? –This is What a Genocide Looks Like, Srebrenica.
Perempuan, Ibu, sungguh mereka adalah sosok yang sangat kuat. Kuat, kuat, kuat sekali.
#reviewbuku #siskareview