Review Buku : Walden
Henry David Thoreau
if someone ask me to recommend a book, for sure, I will take Walden as my #1 favorite book, and the should read this thoo
Walden adalah nama yang indah dengan sampul buku yang telah memberi makna sunyi, damai, dan tenang.
Walden adalah buku yang ditulis Thoreau tahun 1845 sebagai memoar saat dia memutuskan untuk tinggal di dekat Danau Walden. Buku ini adalah sekelumit kisah selama 2 tahun 2 bulan yang dijalani Thoreau. Membangun rumah sekecil dan sebutuhnya untuk ditinggali. Mulai dari kayu yang diambil dari pohon pine yang ada di Walden, dan pelapis dinding untuk mencegah angin musim dingin yang dibeli bekas. Kehidupan sederhana Thoreau di Danau Walden dirangkum dalam buku dengan tebal 420 halaman.
Selain menceritakan kesibukannya di Danau Walden, Thoreau juga merefleksikan diri disana. (mungkin ini akan agak puitis) pertamanya, ia belum mengerti suara burung apa saat pagi dan petang, hingga ia tahu jenis burung apa dan makna apa yang disampaikan burung-burung itu. Bagaimana memancing selain jadi hobi barunya juga menjadi tumpuan hidupnya untuk makan ala kadarnya.
Kebun buncis yang ia semai di belakang rumahnya juga tak jarang dikerumuni oleh kelinci untuk mengambilnya. Ah, tidak kelinci itu tidak sedang mengambil buncis, ia hanya makan untuk mengenyangkan perutnya.
Kebajikan Danau Walden mulai mengembang ke pemikiran Thoreau, membandingkan hidup sendiri dan sunyi ternyata sama sekali tidak menyedihkan. Ia mulai membandingkan kebajikan Walden dengan hal-hal yang pernah ia alami, hal-hal yang ia tahu, tentang manusia yang mendirikan rumah semegah-megahnya namun tidak tahu fungsinya, tentang perkembangan teknologi yang perlahan membunuh kebajikan alam, tentang hidup sederhana dan cukup yang seharusnya manusia lakukan. Banyak sekali nasehat-nasehat dalam buku ini.
Semenjak membaca Walden, mungkin banyak emosi dan perasaanku yang ikut melangkah dan membayangkan kehidupan disana. Indah. Hingga akhir membacanya, aku merasa bahwa buku ini layaknya mengisahkan:
Duduk di sebuah bangku,
dengan buku yang belum sempat terbuka.
karena perasaan dan indera kita bertaut pada sekitar.
ibu yang sedang tersenyum,
anak berlarian,
bapak yang sedang berjualan dagangannya,
atau melihat kumbang dan kupu-kupu menghisap sari bunga dan terbang ke bunga-bunga lain,
merasakan angin yang perlahan-lahan menembus pakaian,
dan bersentuhan dengan kulit,
menyadari napas dalam paru-paru.
Hanya duduk diam di bangku, sambil melihat sekitar
bukanlah sebuah perbuatan yang sia-sia.
Situasi hening seperti ini bisa melegakan kita,
saat itu juga,
diam sebentar bukan hal yang nista untuk dilakukan.
Walden mengisahkan bahwa manusia dan alam tidak dapat ditentukan mana yang lebih mulia. Karena kita sama-sama saling membutuhkan.
Tanah yang jadi pijakan kita merekam setiap tekanan kaki, saat kita berlari tergesa, atau jalan santai hanya menikmati pemandangan.
Pohon menyimpan hasil pembakaran yang dilakukan manusia maupun tubuhnya di dalam batang-batangnya, sedang akarnya menancap jauh ke dalam Bumi.
Alam bergerak meski terlihat tetap.
Pikiran kita bergerak meski diam.
Berdiri di bawah rindangnya pohon sebagai anugrah kehidupan.